Judul :
People Like Us
Penulis :
Yosephine Monica
Penerbit :
Penerbit Haru
Tahun Terbit :
2014
Cetakan :
Pertama
Spesifikasi :
19 cm, 330 halaman
Jumlah Bab : 17
(termasuk prolog dan epilog)
Harga :
Rp. 54.000,-
Durasi Baca :
11 Oktober 2015
Kepemilikkan : Meminjam
dari Dhenda Fildza
Rate :
4.75 of 5 ^^
.
.
Sinopsis;
Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.
Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan
kehidupan mereka. Tentang impian mereka,
tentang cinta pertama,
tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang … kehilangan.
Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu
dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.
Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.
Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.
Kalau begitu, kita mulai dari mana?
.
.
Karena akan ada kemungkinan Ben akan menggelengkan kepala dan berkata bahwa selama ini dia tak pernah mengingat Amy … dan Amy takut itu akan membuat hatinya hancur. (p. 25).
Amelia Collins, atau dalam kisah ini biasa disebut Amy, adalah seorang remaja yang tidak
terlalu menonjol. Orang-orang mengingatnya sebagai penulis cerita-cerita yang
tak memiliki akhir, dan bahwa dia menyukai teman seangkatan mereka, Ben Miller. Ben adalah cinta pertama
Amy, mereka bertemu di kursus musik yang sama untuk kemudian berpisah—Ben dan
keluarganya pindah ke kota lain. Waktu berjalan lambat untuk Amy dan ketika
memasuki jenjang pendidikan berikutnya, mereka dipertemukan kembali. Amy
mendapati dirinya tetap jatuh cinta pada Ben, cinta pertamanya, sekaligus cinta
terakhirnya.
Dulu, dulu sekali, ada sebuah ide yang sekilas melintas di otak Ben: harapan agar Amelia Collins lebih baik menghilang, atau—yang lebih ekstrem—tidak pernah ada di dunia ini (p. 38).
Ben sendiri adalah seorang remaja yang memiliki masa lalu
kompleks, membuatnya cenderung bersikap tidak menyenangkan. Ben tidak mengingat
Amy sebagaimana Amy mengingatnya. Ben tidak menyukai bagaimana Amy
menyukainya—bahkan hingga menguntitnya. Dia tidak pernah memedulikan Amy hingga
bisik-bisik bahwa Amy sakit sampai pada telinganya.
Tak ada yang tahu bahwa ini adalah sebuah awal. Awal dari sebuah akhir (p. 31).
Lana dan Zach, teman Amy, menawarkan Ben untuk
ikut menjenguk Amy. Dengan penuh keengganan, Ben pun menyetujuinya. Pertemuan
awal mereka begitu canggung, begitu pun pada pertemuan berikutnya. Tapi, ketika
Ben memutuskan untuk membaca karya Amy, sesuatu dalam dirinya muncul. Suatu
impian yang sempat ia kubur dulu: menjadi penulis. Tanpa sadar, Ben
mengutarakan rahasia kecilnya itu pada gadis yang dulu, amat ia tidak sukai.
Irina meringis keras. “Kau tidak mengerti, ya?”“Apa?”“Apa yang lebih mematikan, pistol atau pikiran?”Ben tidak menjawab.“Senapan memberimu kesempatan,” Irina berkata, “tapi pikiranlah yang memengaruhimu untuk menarik pelatuk.” (p. 242).
Semakin Ben dekat dengan Amy, semakin banyak hal yang
berubah dalam dirinya, juga hidupnya. Amy membuatnya terbuka, bahkan Ben mulai
bisa menceritakan kehidupannya, keluarganya—tentang kakaknya yang superior, Timothy dan Margareth, adik yang mendapatkan seluruh cinta dari keluarganya. Ia
berbagi cerita-cerita kecil dengan Amy dan ia mendapatkan banyak hal dari gadis
itu.
Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya (p. 259).
Amy sendiri merasakan kedekatan Ben dengannya membawa
pengaruh yang besar dalam hidupnya. Semakin dekat dengan lelaki yang ia sukai
membuat hari-harinya menyenangkan, namun kisah Amy tidak sepenuhnya bahagia
karena penyakit dalam tubuhnya itu bisa membawanya pergi kapan saja.
Lalu … bagaimanakah Amy dan Ben akan menghadapi semuanya
dengan waktu, yang terus membayangi langkah mereka?
.
.
.
.
“Jika aku tidak sakit, jika aku tidak akan pergi seperti secepat ini, jika Lana tak pernah memaksamu, jika semuanya belum serumit sekarang … apakah ada kesempatan kau akan melihatku—dan mungkin, mungkin saja, menyukaiku?” (p. 287).
.
.
Baca
selengkapnya pada novel People Like Us karya Yosephine Monica ini! ^^
.
.
People Like Us adalah
novel pertama—novel debut dari Yosephine
Monica yang memenangkan kompetisi 100 Day of Romance, sebuah kompetisi
menulis yang diselenggarakan oleh Penerbit Haru. Setelah membaca novel ini,
saya bisa mengerti mengapa kisah ini bisa menjadi pemenangnya.
Kisah yang dituturkan oleh Yosephine ini begitu sederhana.
Mengambil setting di kota Boston
dengan kedua tokohnya yang memang warga asli Amerika, membuat kisah ini
dituliskan dalam gaya bahasa layaknya novel terjemahan. Namun, Yosephine mampu
memainkan perasaan pembaca dengan susunan kata-kata yang dipilihnya. Diksi yang
dipakai sungguh sederhana, sebenarnya, namun begitu pas dan entah mengapa indah
dengan kesederhanaannya sendiri. Tanpa disadari, saya pun larut pada kisah ini.
Halaman demi halaman tidak terasa dibaca dan tahu-tahu, saya masuk ke dalam
dunia Amy dan Ben. Keren sekali, saya selalu suka tulisan yang membuat saya
tidak bisa berhenti membacanya hingga halaman terakhir :”) Banyak sekali
kalimat-kalimat yang begitu relate-able dengan
apa yang pembaca rasakan dalam hidupnya sehingga tulisannya bisa dipahami
dengan baik. Dari banyak (baca: banyak) quotes,
saya paling suka quotes di bawah
ini:
“A-aku tidak tahu.” Dahi Lana berkerut saat dia mengedikkan bahu. “Aku pikir tidak apa-apa menangisinya sekali-sekali jika kita masih benar-benar melanjutkan hidup dan mencoba untuk bahagia.”“Kupikir butuh banyak keberanian untuk mencoba berbahagia.” (p. 311)
Dari sisi karakterisasi sendiri, tokoh Amy dan Ben
benar-benar digali disini. Dalam alur maju-mundur yang dihadirkan Yosephine,
kita bisa mengetahui bagaimana latar belakang kedua tokoh tersebut—apa yang
menyebabkan mereka berlaku demikian, apa yang menjadi penting dalam hidup
mereka, kejadian-kejadian yang membentuk diri mereka. Semakin kita membaca,
semakin kita juga merasa dekat dan mengenal kedua tokoh tersebut. Saya bisa
memahami sekali bagaimana karakter Ben yang cenderung dingin namun sebenarnya
memiliki alasan di balik sikapnya. (oh, dan saya suka sekali kisah gajah di
kebun binatang yang menjadi analogi untuk Ben :”))). Begitu pula dengan Amy.
Walaupun terlihat seperti remaja perempuan kebanyakan, penyakit yang
dideritanya membuatnya menjadi bijak :”) interaksi di antara keduanya pun
sangat baik dan logis sekali. Ada saatnya saya ikut canggung, sedih, senang,
gemas terhadap keduanya. Saya suka bagaimana Yosephine membangun hubungan
mereka step by step sehingga terasa
alami dan tidak dipaksakan ^^
Walaupun tema sick-lit seperti ini sudah mainstream, saya kira Yosephine berhasil
membungkus ceritanya dengan baik. Yosephine bisa menuliskan cerita tentang
perpisahan yang walaupun menyedihkan, namun tetap indah. Penyakit yang menjadi
tema dalam cerita ini bukan sekadar tempelan dan berhasil diolah menjadi dasar
yang kuat. Dan satu hal yang saya sangat apresiasi di sini adalah bahwa pada
akhir cerita, perasaan Ben pada Amy sangat logis sekali. Kadang kita banyak
menemukan cerita dengan akhir yang dipaksakan, termasuk dengan perasaan si
tokoh yang terasa dipaksakan untuk memenuhi keinginan pembaca—atau bahkan penulis
itu sendiri. Tapi, dalam kisah ini, saya rasa Yosephine ‘membiarkan’ Ben
menentukan perasaannya sendiri—dan itulah, menurut saya, yang membuat kisah ini
hidup (—well, setidaknya dalam diri
saya).
Hampir tidak ada elemen yang mengganggu ketika saya membaca
kisah ini. Semuanya berhasil dirancang dengan baik. Entah mengapa, ketika di
akhir saya merasa sedikit hambar saja—padahal ini seharusnya menjadi puncak
dari konflik yang menguras emosi. Well,
barangkali emosi saya sudah habis di tengah perjalanan karena karya ini sejak
awal sudah sarat emosi :’) barangkali saya memang menginginkan klimaks yang
mengharu-biru, ya :’)
Penerbit Haru, seperti biasa, dengan timnya, berhasil
membuat cerita-ceritanya bebas dari typo
(another thumbs for the editor team
^^d). dan terima kasih untuk Penerbit Haru karena memilih karya ini sebagai
pemenang sehingga saya bisa membacanya dan bisa menjadikan Yosephine Monica
sebagai salah satu author favorit baru ^^
Impresi yang dirasakan ketika seorang pembaca pertama kali
membaca tulisan seorang penulis sangatlah penting—hal itu kelak akan menentukan
apakah pembaca tersebut akan membaca karya-karya lain dari penulis yang sama. Dan
setelah membaca tulisan Yosephine dalam novel People Like Us ini, saya akan
dengan senang hati membaca tulisan-tulisannya kelak ^^
Untuk menghindari spoiler
dan ramblingan yang tidak jelas
arahnya, maka saya cukupkan sampai disini saja. Dan sebagai penutup, saya ingin
menyampaikan satu nilai penting yang saya dapatkan dari karya ini—menjadi
bahagia selalu mungkin, sekalipun dalam kondisi terburuk. Semuanya ada dalam
kepala kita, semuanya ada dalam pilihan kita :”))
.
.
.
.
Baiklah, sekian review
novel People Like Us dari saya!
Tertarik untuk membaca novelnya? BURUAN BACAAA! :”)))))
Sudah membacanya? Yuk atuh
kita FANGIRLING-an! :”)))))))))))
.
.
.
“Hanya karena kau punya banyak sekali kekurangan, bukan berarti kau tak layak untuk dicintai.” (p. 251).
.
.
Me gif:
THE FEELS IS REALLL |
OPEN TO FANGIRL:
0 comments:
Post a Comment