Monday 19 October 2015

[Review] People Like Us by Yosephine Monica




Judul                     : People Like Us
Penulis                   : Yosephine Monica
Penerbit                : Penerbit Haru
Tahun Terbit          : 2014
Cetakan                : Pertama
Spesifikasi             : 19 cm, 330 halaman
Jumlah Bab           : 17 (termasuk prolog dan epilog)
Harga                    : Rp. 54.000,-
Durasi Baca           : 11 Oktober 2015
Kepemilikkan        : Meminjam dari Dhenda Fildza
Rate                     : 4.75 of 5 ^^
.
.
Sinopsis;


Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka. Tentang impian mereka,
tentang cinta pertama,
tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang … kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?


.
.

Karena akan ada kemungkinan Ben akan menggelengkan kepala dan berkata bahwa selama ini dia tak pernah mengingat Amy … dan Amy takut itu akan membuat hatinya hancur. (p. 25).


Amelia Collins, atau dalam kisah ini biasa disebut Amy, adalah seorang remaja yang tidak terlalu menonjol. Orang-orang mengingatnya sebagai penulis cerita-cerita yang tak memiliki akhir, dan bahwa dia menyukai teman seangkatan mereka, Ben Miller. Ben adalah cinta pertama Amy, mereka bertemu di kursus musik yang sama untuk kemudian berpisah—Ben dan keluarganya pindah ke kota lain. Waktu berjalan lambat untuk Amy dan ketika memasuki jenjang pendidikan berikutnya, mereka dipertemukan kembali. Amy mendapati dirinya tetap jatuh cinta pada Ben, cinta pertamanya, sekaligus cinta terakhirnya.


Dulu, dulu sekali, ada sebuah ide yang sekilas melintas di otak Ben: harapan agar Amelia Collins lebih baik menghilang, atau—yang lebih ekstrem—tidak pernah ada di dunia ini (p. 38).


Ben sendiri adalah seorang remaja yang memiliki masa lalu kompleks, membuatnya cenderung bersikap tidak menyenangkan. Ben tidak mengingat Amy sebagaimana Amy mengingatnya. Ben tidak menyukai bagaimana Amy menyukainya—bahkan hingga menguntitnya. Dia tidak pernah memedulikan Amy hingga bisik-bisik bahwa Amy sakit sampai pada telinganya.


Tak ada yang tahu bahwa ini adalah sebuah awal. Awal dari sebuah akhir (p. 31).


Lana dan Zach, teman Amy, menawarkan Ben untuk ikut menjenguk Amy. Dengan penuh keengganan, Ben pun menyetujuinya. Pertemuan awal mereka begitu canggung, begitu pun pada pertemuan berikutnya. Tapi, ketika Ben memutuskan untuk membaca karya Amy, sesuatu dalam dirinya muncul. Suatu impian yang sempat ia kubur dulu: menjadi penulis. Tanpa sadar, Ben mengutarakan rahasia kecilnya itu pada gadis yang dulu, amat ia tidak sukai.


Irina meringis keras. “Kau tidak mengerti, ya?”
“Apa?”
“Apa yang lebih mematikan, pistol atau pikiran?”
Ben tidak menjawab.
“Senapan memberimu kesempatan,” Irina berkata, “tapi pikiranlah yang memengaruhimu untuk menarik pelatuk.” (p. 242).


Semakin Ben dekat dengan Amy, semakin banyak hal yang berubah dalam dirinya, juga hidupnya. Amy membuatnya terbuka, bahkan Ben mulai bisa menceritakan kehidupannya, keluarganya—tentang kakaknya yang superior, Timothy dan Margareth, adik yang mendapatkan seluruh cinta dari keluarganya. Ia berbagi cerita-cerita kecil dengan Amy dan ia mendapatkan banyak hal dari gadis itu.


Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan  atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya (p. 259).


Amy sendiri merasakan kedekatan Ben dengannya membawa pengaruh yang besar dalam hidupnya. Semakin dekat dengan lelaki yang ia sukai membuat hari-harinya menyenangkan, namun kisah Amy tidak sepenuhnya bahagia karena penyakit dalam tubuhnya itu bisa membawanya pergi kapan saja.

Lalu … bagaimanakah Amy dan Ben akan menghadapi semuanya dengan waktu, yang terus membayangi langkah mereka?
.
.
.
.

“Jika aku tidak sakit, jika aku tidak akan pergi seperti secepat ini, jika Lana tak pernah memaksamu, jika semuanya belum serumit sekarang … apakah ada kesempatan kau akan melihatku—dan mungkin, mungkin saja, menyukaiku?” (p. 287).

.
.


Baca selengkapnya pada novel People Like Us karya Yosephine Monica ini! ^^


.
.
People Like Us adalah novel pertama—novel debut dari Yosephine Monica yang memenangkan kompetisi 100 Day of Romance, sebuah kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh Penerbit Haru. Setelah membaca novel ini, saya bisa mengerti mengapa kisah ini bisa menjadi pemenangnya.

Kisah yang dituturkan oleh Yosephine ini begitu sederhana. Mengambil setting di kota Boston dengan kedua tokohnya yang memang warga asli Amerika, membuat kisah ini dituliskan dalam gaya bahasa layaknya novel terjemahan. Namun, Yosephine mampu memainkan perasaan pembaca dengan susunan kata-kata yang dipilihnya. Diksi yang dipakai sungguh sederhana, sebenarnya, namun begitu pas dan entah mengapa indah dengan kesederhanaannya sendiri. Tanpa disadari, saya pun larut pada kisah ini. Halaman demi halaman tidak terasa dibaca dan tahu-tahu, saya masuk ke dalam dunia Amy dan Ben. Keren sekali, saya selalu suka tulisan yang membuat saya tidak bisa berhenti membacanya hingga halaman terakhir :”) Banyak sekali kalimat-kalimat yang begitu relate-able dengan apa yang pembaca rasakan dalam hidupnya sehingga tulisannya bisa dipahami dengan baik. Dari banyak (baca: banyak) quotes, saya paling suka quotes di bawah ini:


“A-aku tidak tahu.” Dahi Lana berkerut saat dia mengedikkan bahu. “Aku pikir tidak apa-apa menangisinya sekali-sekali jika kita masih benar-benar melanjutkan hidup dan mencoba untuk bahagia.”
Kupikir butuh banyak keberanian untuk mencoba berbahagia.” (p. 311)


Dari sisi karakterisasi sendiri, tokoh Amy dan Ben benar-benar digali disini. Dalam alur maju-mundur yang dihadirkan Yosephine, kita bisa mengetahui bagaimana latar belakang kedua tokoh tersebut—apa yang menyebabkan mereka berlaku demikian, apa yang menjadi penting dalam hidup mereka, kejadian-kejadian yang membentuk diri mereka. Semakin kita membaca, semakin kita juga merasa dekat dan mengenal kedua tokoh tersebut. Saya bisa memahami sekali bagaimana karakter Ben yang cenderung dingin namun sebenarnya memiliki alasan di balik sikapnya. (oh, dan saya suka sekali kisah gajah di kebun binatang yang menjadi analogi untuk Ben :”))). Begitu pula dengan Amy. Walaupun terlihat seperti remaja perempuan kebanyakan, penyakit yang dideritanya membuatnya menjadi bijak :”) interaksi di antara keduanya pun sangat baik dan logis sekali. Ada saatnya saya ikut canggung, sedih, senang, gemas terhadap keduanya. Saya suka bagaimana Yosephine membangun hubungan mereka step by step sehingga terasa alami dan tidak dipaksakan ^^

Walaupun tema sick-lit seperti ini sudah mainstream, saya kira Yosephine berhasil membungkus ceritanya dengan baik. Yosephine bisa menuliskan cerita tentang perpisahan yang walaupun menyedihkan, namun tetap indah. Penyakit yang menjadi tema dalam cerita ini bukan sekadar tempelan dan berhasil diolah menjadi dasar yang kuat. Dan satu hal yang saya sangat apresiasi di sini adalah bahwa pada akhir cerita, perasaan Ben pada Amy sangat logis sekali. Kadang kita banyak menemukan cerita dengan akhir yang dipaksakan, termasuk dengan perasaan si tokoh yang terasa dipaksakan untuk memenuhi keinginan pembaca—atau bahkan penulis itu sendiri. Tapi, dalam kisah ini, saya rasa Yosephine ‘membiarkan’ Ben menentukan perasaannya sendiri—dan itulah, menurut saya, yang membuat kisah ini hidup (—well, setidaknya dalam diri saya).

Hampir tidak ada elemen yang mengganggu ketika saya membaca kisah ini. Semuanya berhasil dirancang dengan baik. Entah mengapa, ketika di akhir saya merasa sedikit hambar saja—padahal ini seharusnya menjadi puncak dari konflik yang menguras emosi. Well, barangkali emosi saya sudah habis di tengah perjalanan karena karya ini sejak awal sudah sarat emosi :’) barangkali saya memang menginginkan klimaks yang mengharu-biru, ya :’)

Penerbit Haru, seperti biasa, dengan timnya, berhasil membuat cerita-ceritanya bebas dari typo (another thumbs for the editor team ^^d). dan terima kasih untuk Penerbit Haru karena memilih karya ini sebagai pemenang sehingga saya bisa membacanya dan bisa menjadikan Yosephine Monica sebagai salah satu author favorit baru ^^

Impresi yang dirasakan ketika seorang pembaca pertama kali membaca tulisan seorang penulis sangatlah penting—hal itu kelak akan menentukan apakah pembaca tersebut akan membaca karya-karya lain dari penulis yang sama. Dan setelah membaca tulisan Yosephine dalam novel People Like Us ini, saya akan dengan senang hati membaca tulisan-tulisannya kelak ^^

Untuk menghindari spoiler dan ramblingan yang tidak jelas arahnya, maka saya cukupkan sampai disini saja. Dan sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu nilai penting yang saya dapatkan dari karya ini—menjadi bahagia selalu mungkin, sekalipun dalam kondisi terburuk. Semuanya ada dalam kepala kita, semuanya ada dalam pilihan kita :”))
.
.
.
.
Baiklah, sekian review novel People Like Us dari saya!
Tertarik untuk membaca novelnya? BURUAN BACAAA! :”)))))
Sudah membacanya? Yuk atuh kita FANGIRLING-an! :”)))))))))))
.
.
.

“Hanya karena kau punya banyak sekali kekurangan, bukan berarti kau tak layak untuk dicintai.” (p. 251).

.
.

Me gif:
THE FEELS IS REALLL


OPEN TO FANGIRL:
Quotes:
“Bahwa meskipun aku sering menulis cerita tentang jatuh cinta pada pandangan pertama, aku juga tidak percaya pada apa yang kutulis. Bahwa, kadang para penulis hanya mengisi kertas kosong dengan kalimat-kalimat penuh kebohongan yang tidak dipercayainya sama sekali.” (p. 175).
 ME:
AGREEEE

Inilah mengapa Amy tidak pernah suka menjadi sorotan publik. Orang-orang hanya akan mengingat kesalahanmu atau hal buruk yang terjadi padamu dan menghitungnya dengan jari, sementara kebaikan yang kau perbuat akan dilupakan karena tak cukup banyak jari yang tersisa untuk menghitungnya (p. 231).
 ME: 
HIT IT RIGHTTTTT


Amy mengernyit, terlihat kurang setuju dengan akhir cerita yang sebenarnya sudah bisa dia prediksi, “Kenapa kau tidak melakukan sesuatu untuk membuatnya tetap tinggal?” 
Kenapa aku harus menahan seseorang yang ingin pergi?”
ME:
KENAPAAAAAAA



“Hanya karena kau punya banyak sekali kekurangan, bukan berarti kau tak layak untuk dicintai.” (p. 251).
ME:
I'M SO DONE WITH THIS

.
.
.
Aku nggak paham kenapa Yosephine bisa menulis seindah ini. Do you know how much sticky notes that I’ve use to mark the quotes in this book?
I’M SO IN LOVE WITH HER WRITING~~~~~
Well, AND so envious too :”) (I’m older than her, btw :”)) (gegulingan)




0 comments:

Post a Comment